Selasa, 27 September 2016

Durhakakah aku?



Durhakakah aku?

Musibah ini terjadi saat aku berada di semester 2 di bangku perkuliahan. Senja berganti petang. Setelah sholat magrib, aku bergegas keluar kamar dan menuju ruang tamu dimana Mas,Mbak, dan Mamak  berbincang-bincang sejak sore tadi. Entah kenapa aku penasaran sekali dengan perbincangan mereka yang terdengar serius. “Semoga tidak terjadi apa-apa. Mak.e khawatir sekali. Karena kita tidak tahu secara langsung bagaimana keadaan Bapak di Malaysia” kata Mamak khawatir. Memangnya ada apa dengan bapak? Tanyaku dalam hati. Maka akupun bertanya kepada Mamak. “ Bapak kenapa Mak?”. “ Bapakmu sakit nduk. Katanya Pak De-mu, Bapak keracunan racun tikus. Bapak tidak sengaja memakan makanan yang ada sudah diracuni tikus”. “ Kok bisa? Memangnya bapak tidak tahu kalo itu ada racunnya?” tanyaku lagi. “ Entahlah Mamak juga tidak tahu seperti apa cerita detailnya. Sekarang Bapak sudah dibawa ke Rumah Sakit sama Pak De Sub. Katanya badan Bapak membiru, dia tidak sadarkandiri” jawab Mamak resah. Bapakku memang bekerja sebagi TKI di Malaysia. Dia tinggal di kongsi yang biasanya dekat dengan hutan. Maka wajar jika banyak tikus dan hewan lain berkeliaran disekitar tempatnya tinggal dan biasanya para TKI meracuni makanan mereka dengan racun tikus agar tikus-tikus yang mengganggu itu mati. Pada hari itu katanya Pak De memang ada 5 orang temannya juga disana yang tidak sengaja memakan makanan yang sudah diracuni racun tikus. 2 orang meninggal, dan 3 diantaranya kritis. Termasuk Bapakku.
Saat mendengar berita itu awalnya aku tak sedih sedikit pun. Buat apa? Rasanya sakit hatiku bertahun-tahun karena Bapak sudah terobati. Bahkan aku sedikit senang. Dosakah aku? Bukankah yang Bapak lakukan bertahun-tahun itu juga dosa?. Bertahun-tahun kami menderita. Rasanya tak usahlah aku kasian. Mungkin ini balasan untuk  perlakuan Bapak selama ini kepada kami. Bukannya bagus? Siapa tahu setelah ini Bapak sadar akan perbuatannya dulu.
“Jangan lupa do’akan Bapakmu setelah sholat, supaya diberi kesembuhan” kata Mamakku lirih menahan sedih. “Mungkin ini balasan untuk Bapak selama ini Mak” celetukku tanpa dosa. “Kamu ini ngomong apa? Dia Bapakmu! Tanpa dia kamu nggak ada di dunia ini! Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Bapakmu?! Bagaimana kalau kamu tidak punya Bapak?! Jangan begitu Nduk? Dia walau bagaimanapun tetap Bapakmu. Kepala keluarga yang harus kita hormati dan sayangi. Mamak tahu kamu juga terluka, tapi dia tetap Bapakmu! ” kata Mamak dengan air mata membendung. Seketika mataku membendung. Aku tak tahan dan menuju kamarku. Kututup pintu rapat-rapat. “Tanpa dia kamu nggak ada di dunia ini!” kata-kata Mamak terngiang di telingaku. Oh Tuhan Durhakakah hamba? Durhakakah hamba, jika hamba membencinya? Sudah hilangkah hati nuraniku sebagai anak? Aku menangis di dalam kamar. Rasa bersalah mulai memenuhi relung hatiku. Kata-kata Mamak memang benar. Tidak peduli apa yang Bapak pernah lakukan dulu, dia tetap Bapakku. Bapak kandungku. Tanpanya aku tak ada di dunia ini. Dia dalam keadaan amat buruk sekarang. Tapi apa yang kulakukan tadi? Bukannya berdo’a justru sumpah serapah yang muncul. Maafkan Lili Pak. Seharusnya Lili berdo’a yang terbaik untuk Bapak. Bukannya seperti ini. Entah mengapa aku merasa jadi anak paling durhaka dan paling buruk di dunia ini. Hanya bisa berharap “sumpah serapah”ku tidak terwujud.
Hari-hari berlalu. Bapak koma selama 5 hari. Hanya Pak De Sub yang kebetulan satu kongsi dengan Bapakku yang bolak balik dari kongsinya yang berada di dekat hutan ke Rumah Sakit yang berada di kota. Setiap hari Mamak terlihat resah menunggu telfon dari Pak De dan segera ingin tahu bagaimana keadaan Bapak disana. Wajah Mamak selalu terlihat murung. Akupun hanya bisa menatap sedih Mamak. Setelah 5 hari melewati masa koma, akhirnya Bapak sadar dari komanya. Namun menurut cerita Pak De, Bapak masih harus menginap beberapa hari lamanya. Tak kurang dari 15 hari Bapak dirawat di rumah sakit. Setelah diperbolehkan pulang, Bapak masih belum bisa berjalan dengan baik karena saking lamanya Bapak berbaring di tempat tidur rumah sakit membuat tubuhnya sedikit kaku digerakkan. Jadilah selama satu bulan Bapak tidak bekerja dan itu digunakan memulihkan keadaannya pasca sakit.
Sejak saat itu aku mulai merubah pemikiranku tentang Bapak. Berdamai dengan hati. Berusaha memaafkan kesalahan Bapak yang dulu. Mulai menurut kata-kata yang pernah diucapkan Mamak. Berharap kesembuhan Bapak. Tak mungkin selamanya aku membenci Bapak. Bagaimanapun dia Bapak kandungku. Tak peduli apa saja yang pernah dia lakukan, sudah kewajibanku berbakti kepadanya.

1 komentar:

  1. Allah merencanakan segala sesuatu dengan sangat detail, Allah menakdirkan Mbak Laili menjalani jalan takdir yang "getir" seperti itu pasti bukan tanpa sebab. Ada yang hendak Allah ingin ajarkan kepada kita. Percayalah, bahwa Allah Sang Maha Penyayang tidak akan mengecewakan kita. Dia yang lebih tau apa yang terbaik untuk kita.

    BalasHapus