"Boneka Beruang Berdarah"
Matahari mulai
menghilang dari langit. Awan hitam mulai memenuhi langit dan rintik hujan mulai
jatuh tiada henti. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30, tapi Sinta tekun
mengetik tugas mata kuliah Penulisan Kreatif tanpa menghiraukan ruang E42 yang
makin sunyi. Pintu kelas berdecit dengan pelan, jendela pun ikut bergerak-gerak
diterpa angin. Sinta masih tidak menghiraukannya. Dia tidak sadar bahwa ada
maut yang mengawasinya. Akhirnya tugas itu selesai, Sinta pun mulai merapikan barang-barangnya
dan bergegas ingin turun. Ketika dia keluar dari ruang kelas, dilihatnya ada
boneka beruang diatas kursi di tengah-tengah lorong yang nampak redup dan
lenggang tersebut. Penasaran, Sinta pun mendekatinya. Dengan langkah pelan
Sinta berjalan menuju si boneka beruang. Ketika benar-benar dekat, Sinta baru
menyadari banyak sekali bercak darah di bagian mata beruang tersebut. Dengan
sedikit tersentak Sinta mundur ke belakang. Disaat yang sama ada langkah kaki
mendekatinya dari belakang dengan mata merah menyala. Saat Sintabaru menyadari bahwa dia dalam bahaya, tangan
bersarung tangan hitam itu tepat membungkam mulut dan hidungnya dengan erat.
Meskipun terkejut, tidak ada yang bisa dilakukan Sinta selain menitihkan air
matanya. Dadanya mulai sesak, penglihatannya mulai kabur, dia pun tak sadarkan
diri. Mengetahui Sinta tak sadarkan diri, orang yang memakai pakaian serba
hitam itu menyeret Sinta sampai ke gudang dekat tangga lantai 1. Dengan kejam
dia menyayat tubuh sinta menjadi beberapa bagian. Boneka beruang itu pun ikut
terpecik darah dari Sinta. Orang tersebut memasukkan potongan tubuh Sinta
kedalam plastik hitam besar bersamaan dengan boneka itu. Dia beranjak ke
belakang gedung SBSN, dan menggali lubang dekat perkebunan melon untuk menguburkan
tubuh Sinta yang malang. Hujan yang makin deras, seakan menutupi kejahatan
orang tersebut. Dia pun melangkah pergi dengan hati yang puas.
Seminggu kemudian,
kuliah masih berjalan dengan normal. Tidak ada yang menyadari bahwa salah satu
mahasiswi kampus IAIN Tulungagung tersebut telah meninggal dengan cara yang
tragis. Namun tidak dengan Bunga, dia terpekur di salah satu gazebo kampus
tersebut. Masih teringat jelas dibenaknya, seminggu yang lalu saat dia
meninggalkan Sinta sendirian di ruang E42 saat jam mata kuliah berakhir. “Sin,
ayo pulang. Kamu mau sampek jam berapa disini? Ini sudah malam lho ! “ celetuk
Bunga yang ingin cepat-cepat sampai rumah karena memang waktu sudah menunjukkan
pukul 8 malam. “ Aku mau disini aja Bunga. Ntar kalo aku di rumah malah bengong
lagi. Mending aku disini ngerjain tugas, daripada boring di rumah” jawab Sinta
dengan mata masih terpaku pada layar laptopnya. Dengan nada kesal Bunga
menjawab “ ya udah kalo gitu aku duluan aja, biar kamu ditemenin sama dedemit
kampus tuhh..hiii”. Dengan langkah gontai dia pun meninggalkan Sinta sendirian.
Bunga masih ingat ketika dia masuk lift setelah keluar dari ruang E42. Dia melihat
sekejap bayangan hitam di salah satu lorong. Dengan bulu kuduk yang merinding
dia mengacuhkannya dan segera turun ke bawah. Sekarang dia menyesalinya. Dia
menyesal, kenapa dia meninggalkan Sinta sendirian di sana. Setelah malam itu
dia mendapat kabar dari keluarga Sinta bahwa pada malam itu Sinta tidak pulang
ke rumah dan hilang sampai sekarang. Nomor telefon genggam Sinta pun tak bisa
dihubungi. Selama seminggu ini Bunga terlihat begitu muram dan gelisah mencari
dimana Sinta. Ketika ia melamun, tiba-tiba Reno mengagetkannya dari arah
belakang. “Bunga!” Bunga pun tersentak. “Apaan sih kamu Ren?! Bikin kaget
aja!”. “Ya habis kamu bengong terus sih!”. Reno pun duduk di samping Bunga. Dia
membuka pembuka pembicaraan. “Oh ya, seminggu ini Sinta kemana aja sih?
Nomornya juga gak bisa dihubungi. Kamu tau dia kemana?” tanya Reno penasaran.
“Kamu gak tau?! Sinta sudah seminggu ini menghilang! Ngga ada yang tau dia
kemana!”. “Apa?!” Reno nampak syok dan tak bisa berkata-kata lagi. Hening
sesaat. “Ya sudah. Nanti kita cari Sinta bersama-sama. Ayo sekarang ke kantin.
Kamu pasti belum sarapan kan?” tanya Reno khawatir. Mereka pun melangkah ke
kantin Green bersama-sama. Usai dari kantin Reno dan Bunga berjalan menuju
ruang UKM Teater Pro-Test. Di lorong depan UKM tak sengaja Bunga bertabrakan
dengan Joni. Joni nampak kaget dan terburu-buru pergi dari hadapan mereka.
Sekilah Bunga melihat mata Joni memerah saat memandangnya. Joni pun segera
belari menjauh menuju tangga dan turun ke bawah. Ada yang mengganjal dari
sikapnya. Namun Bunga segera mengabaikannya dan melanjutkan langkahnya.
Sesampainya di ruang
UKM kaki Bunga tak sengaja menedang sepasang sepatu bot hitam. Sepatu itu pun
berpindah dari tempatnya semula. Terlihat oleh Bunga ada bercak darah di sepatu
tersebut. “Ada bercak darah di sepatu itu. Sepatu siapa itu?” Bunga bertanya
pada Reno. “Setahuku itu punya Joni. Yang biasa dia pakai saat membantu Ayahnya
ketika mengangkut material untuk membangun gedung baru dekat kantin”. Ayah Joni
memang bekerja sebagai pekerja bangunan di kampus tersebut. “Kenapa ada bercak
daranya ya? Memangnya apa yang dia lakukan?” kata Bunga penasaran. “Entahlah.
Terakhir kali kulihat sabtu malam lalu dia membantu Ayahnya memasang porselen
di gedung baru itu. Memangnya kenapa Bunga?”. “ Tunggu sebentar. Sabtu malam?
bukankah itu hari saat Santi menghilang? Jangan-jangan..” Bunga nampak gelisah.
Dia tahu betapa anehnya sikap si Joni. Dia dulu pernah dipenjara karena
menganiyaya seorang wanita di gang rumahnya. Semua orang tau itu. Dia juga tau
kalau Sinta sering mengejek Joni karena dia exnapi yang dengan mudah mendapat
beasiswa di kampus ini. Firasat buruk mulai memenuhi pikiran Bunga. “Hei jangan
asal tuduh ! siapa tau bukan dia pelakunya. Dari pada kita berprasangka buruk
lebih baik kita mencari Sinta saja terlebih dahulu. Masih ada harapan dia akan
bisa ditemukan” tukas Reno berusaha menenangkan.
Selesai kuliah Reno
dan Bunga berjalan beriringan menuju parkiran. “Ren, kira-kira dimana ya Sinta?
Aku sangat merindukannya”. Wajah Bunga terlihat amat murung. Reno merangkul
pundaknya. “ Tenang Bunga. Sinta pasti kembali kok. Jangan khawatir.” Bunga
hanya tersenyum sekilas. “oh iya Ren, minggu kemaren katanya kamu mau ketemu
aku? Kok aku tungguin dirumah gak dateng-dateng sih?”. “Maaf Bunga. Sebenarnya
ada yang mau aku omongin sama kamu waktu itu, tapi adekku sakit. Trus ibuk
masih di rumah Nenek. Terpaksa aku jagain adekku deh.” “oh ya udah kamu ngomong
aja sekarang gapapa”. “ehmm....sebenarnya. waktu itu aku mau nembak kamu Bunga.
Kita kan udah temenan selama 2 tahun, semakin lama kedekatan kita ini
menumbuhkan rasa yang berbeda di hatiku, dan aku merasa kamulah wanita yang aku
cari selama ini. Kamu mau gak jadi pacar aku?” dengan tersipu Reno menundukkan
kepalanya. Bunga sedikit kaget dengan kata-kat yang Reno ucapkan tadi. Namun
dia segera faham dengan ucapan tadi. “hemm..bagaimana ya Ren?...aku lebih suka
kita menjadi teman seperti biasanya. Maafkan aku..”. Reno tampak begitu kecewa.
Namun dia segera memaksakan senyumnya. “ Iya Bunga. Gapapa kok, aku bisa
faham”. “ Makasih ya Ren, kamu bisa mahamin aku” senyum Bunga mengembang.
Mereka pun bergegas pulang ke rumah masing-masing. Dari kejauhan Joni tampak
mengawasi mereka berdua dengan tangan mengepal dan mata memerah. Giginya pun
bergemertak dengan keras seakan menahan emosi yang menggebu-gebu. “Lihat saja !
dia tidak akan lolos dari tanganku!”.
Diperjalanan pulang,
Bunga yang memang rumahnya berada di perumahan yang sepi melewati beberapa
rumah yang belum ada penghuninya. Nampak sepi dan redup. Karena memang waktu
sudah menunjukkan pukul 21: 31. Dengan sepeda motor maticnya dia melaju pelan
menuju rumahnya. Saat dia melewati rumah Sinta, tak sengaja dia melihat sosok
wanita yang membawa boneka dari kejauhan. Bunga sedikit tersentak karena wanita
itu mirip sekali dengan Sinta. Saat
benar-benar dekat dengan rumah Sinta, Bunga baru menyadari kalau itu benar-benar
Sinta. Terlihat olehnyaSinta menggunakan blouse biru yang ia kenakan sabtu itu.
Wajahnya nampak datar, dan boneka itu tampak berlumuran darah ! Bunga pun
menghentikan montornya dan segera berlari menghampiri Sinta. Ketika benar-benar
dekat, tiba-tiba Sinta menghilang begitu saja dari pandangan. Dengan panik
Bunga meneriakkan nama Sinta berkali-kali. “Sintaa...kamu dimana Sinnn??
Sintaaa...!” mendengar ada kebisingan di luar rumah, ibu Sinta bergegas keluar.
Dilihatnya Bunga berteriak histeris. “Ada apa nak Bunga?” tanya ibu Sinta
heran. “saya melihat Sinta buk. Dia tadi di dekat teras ini”. “nak, Sinta belum
ada kabar dari sekarang. Bagaimana mungkin dia ada di teras rumah ini??”. “lalu
yang kulihat itu tadi siapa?” tanya Bunga dalam hati. “ya sudah kamu pulang
saja ke rumah. Ini sudah cukup malam nak”. “ baik bu, kalau begitu saya pamit”
“iya nakhati-hati. Jangan terlalu difikirkan, kita pasti bisa menemukan Sinta”.
Bunga pun pulang ke rumahnya dengan perasaan mengganjal.
Keesokan harinya Bunga
memutuskan menceritakannya kepada Reno. “Ren, kemarin aku lihat Sinta di teras
rumahnya! Tapi pas aku samperin dia udah gak ada. Anehkan ? tapi aku yakin yang
kulihat itu Sinta Rennn..” Bunga nampak gelisah. “ tapi jelas-jelas waktu kamu
dekati gak ada kan? Jadi mana mungkin itu Sinta Bunga?” Reno menyangkal. Reno
pun mengajak Bunga ke ruang UKM Teater untuk mendiskusikan perihal acara PGMI
In Art Oktober nanti.sesaat setelah mereka sampai di sana, Joni masuk ke dalam
dengan wajah dan mata memerah. Dia melirik tajam ke arah Bunga dan Reno. Yang
dilihat pun nampak kebingungan dengan ekspresi Joni yang aneh. Tiba-tiba Joni
berkata dengan geram “ Lihat saja. Kalian membayar semuanya!” lalu ia
menyeringai dan meninggalkan ruang itu. Bunga dan Reno saling menatapsatu sama
lain. “Dia kenapa sih Ren? Kok aneh gitu? Memangnya kita salah apa?”. “ Udah
gak usah difikirin. Yuk lanjutin rapatnya”. Bunga hanya mengangguk
meng-iya-kan. Rapat berjalan lancar dan tak terasa mereka sudah ada di ruang
itu hingga pukul 21:30. “ Yuk aku anterin pulang Bunga. Gak baik cewek pulang
sendirian jam segini. Takut ada apa-apa di jalan”. “Ya sudah ayo”. Mereka
berjalan menuju tangga bersama-sama.
Ketika sampai di parkiran yang cukup lenggang dan
sepi, tiba-tiba bulu tengkuk Bunga berdiri. Dia merasa ada yang aneh.
Seakan-akan ada yang mengikuti mereka dari belakang. Bunga memutuskan
menghentikan langkahnya dan menengok kebelakang. Betapa kagetnya Bunga di
belakangnya nampak seseorang bertubuh tinggi dengan mengenakanpakaian serba
hitam dan menutupi wajahnya dengan topeng hitam. Bunga pun memekik dan mundur
kebelakang. Reno yang berada jauh di depan Bunga menghampirinya ketika
mengetahui Bunga dalam bahaya. Orang yang memakai pakian serba hitam itu
memegang pisau parang di tangan kanannya dan berjalan pelan namun pasti
mendekati Bunga dan Reno.”Apa yang kamu inginkan?!” tanya Reno tanpa rasa takut
berusaha melindungi wanita yang dicintainya. Orang itu perlahan membuka topeng
dari wajahnya, dan betapa terkejutnya Reno dan Bunga bahwa orang itu adalah
Joni. “Joni? Apa yang kamu lakukan Jon?!” tanya Bunga gusar. Terlihat di mata
Reno dan Bunga, Joni nampak membisu dan mata yang siap menikam. “Kalian akan
membayarnya! Aku tidak terima! Kalian telah membunuh Sintaku!!! Kalian juga
harus mati !!”. Betapa terkejutnya Reno dan Bunga mendengar apa yang baru saja
Joni katakan. “Apa maksud kamu Jon? Aku tidak mengerti. Sinta kenapa?” mata
Bunga mulai berair dan mulai menjatuhkan air mata.”Sinta meninggal?” Bunga
seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Joni tadi. “Aku tau, kalian lah
yang sejak awal sudah berencana membunuh Sinta. Iya kan?! Kalian pikir aku tak
tau? Saat Reno menyeret tubuh Sinta dan menguburkannya di belakang gedung
SBSN?!!”. “Apa maksudmu Jon? Siapa yang membunuh siapa?” Reno pun mengelak.
Bunga pun akhirnya teringat saat menendang sepatu bot Joni yang penuh darah di
UKM Teater. “ Hei Jon! Bukannya justru sepatumu yang penuh darah?! Berarti kau
yang membunuh Sinta?! Kenapa sekarang kau malah menuduh Reno?!” tanya Bunga
geram. “Pada malam Bunga hilang, sepatuku dipinjam oleh Reno. Dia bilang mau
dia pakai untuk mendaki di Gunung Budek. Tapi saat aku membatu ayahku di gedung
baru, aku lihat Reno menyeret plastik hitam besar ke belakang Gedung SBSN. Aku
pun mengikutinya” Joni diam sejenak, menahan amarah yang meluap-luap. “ Setelah
Reno menguburkan plastik itu di dekat kebun melon, aku mulai mendekati gundukan
itu. Dan betapa terkejutnya aku ketika aku tahu bahwa itu potongan mayat!
Potongan mayat manusia! Di sana ada boneka beruang yang bersimbah darah dan
baju mayat itu! Blouse biru! Blouse biru yang sering dikenakan Sinta! Blouse
biru dari wanita yang aku cintai selama ini!” Joni pun mulai menangis
sejadi-jadinya. Reno yang ketakutan karena kedoknya terbongkar nampak
kalangkabut. Bunga pun tak bisa berkata apa-apa selain menunggu penjelasan dari
Joni selanjutnya. “Tubuh itu benar-benar hancur! Tak bisa dikenali ! bagaimana
mungkin kamu bisa melakukan hal itu Ren?!” bentak Joni. “Dia yang memulai
duluan! Dia yang membuatku marah! Siang itu, sebenarnya aku curhat pada Sinta,
bahwa aku akan menembak Bunga dengan memberikannya boneka beruang. Tapi Sinta
malah menghinaku! Dia bilang aku tak pantas untuk Bunga. Dan dia membuang
boneka beruang itu dan menginjak-nginjaknya ke tanah. Bukankah dia yang salah?!”
kata Reno tak mau kalah. Bunga yang
seakan tak percaya dengan yang baru saja dikatakan Reno pun akhirnya mundur
menjauh dari Reno dan mulai menangis tersedu-sedu. Disaat-saat itulah, di
samping Reno munculah arwah Sinta yang dengan tiba-tiba mencekik leher Reno
dengan kuat. Reno nampak ketakutan. Sekilas dia dapat melihat wajah dan mata
Sinta yang pucat pasi, badan penuh darah, dan sebelah tangannya memegang boneka
beruang. Benar-benar menakutkan.Sinta memandang geram Reno seakan siap mengakhiri
hidupnya. Bunga pun berteriak kepada Sinta, “Sin ! jangan Sin ! jangan bunuh
Reno!”. Namun terlambat , saat tangan Sinta melepaskan leher Reno, Reno pun
sudah tak bergerak lagi. “ Maafkan aku Bunga. Seharusnya aku cerita dari awal
sama kamu. Maafkan aku Joni. Selama ini aku sudah jahat padamu” kata Sinta
setelah melepaskan cekikannya di leher Reno. “gapapa Sinta, sebelum kamu
meminta maaf pun sudah ku maafkan” sahut Joni dengan berlinang air mata, dia
seakan sedang bermimpi bisa berbicara dengan wanita yang ia cintai. “Sinta,
jangan tinggalin aku!” teriak Bunga sambil tersedu-sedu. “Maafkan aku Bunga,
aku harus pergi. Tugasku disini sudah selesai. Joni, kumohon jaga Bunga untukku”.
Setelah mengatakan itu arwah Sinta menghilang begitu saja. Bunga dan Joni hanya
bisa meratapi kepergian Sinta.
Keesokan harinya gundukan tempat Sinta dikuburkan oleh Reno digali dan Sinta dikuburkan dengan layak. Saat di pemakaman Bunga tak kuasa menahan tangisnya. Disampingnya ada Joni yang menenangkan. Saat semua pelayat telah pergi, Joni pun membujuk Bunga untuk pulang "Bunga, ayo kita pulang. Sebentar lagi turun hujan". Bunga hanya tertunduk lesu dengan mata sembab. Saat mereka melankah pergi meninggalkan pusara Sinta, Bunga menengok kebelakang. Samar-samar dia melihat sosok Sinta di dekat pusaranya. Dia nampak tersenyum kepadanya. Bunga pun membalas senyuman itu dengan lega dan melangkah meninggalkan makam tersebut. The End.