Durhakakah aku?
Musibah ini terjadi saat aku berada di semester 2 di
bangku perkuliahan. Senja berganti petang. Setelah sholat magrib, aku bergegas
keluar kamar dan menuju ruang tamu dimana Mas,Mbak, dan Mamak berbincang-bincang sejak sore tadi. Entah kenapa
aku penasaran sekali dengan perbincangan mereka yang terdengar serius. “Semoga
tidak terjadi apa-apa. Mak.e khawatir sekali. Karena kita tidak tahu secara
langsung bagaimana keadaan Bapak di Malaysia” kata Mamak khawatir. Memangnya
ada apa dengan bapak? Tanyaku dalam hati. Maka akupun bertanya kepada Mamak. “
Bapak kenapa Mak?”. “ Bapakmu sakit nduk. Katanya Pak De-mu, Bapak keracunan
racun tikus. Bapak tidak sengaja memakan makanan yang ada sudah diracuni
tikus”. “ Kok bisa? Memangnya bapak tidak tahu kalo itu ada racunnya?” tanyaku
lagi. “ Entahlah Mamak juga tidak tahu seperti apa cerita detailnya. Sekarang
Bapak sudah dibawa ke Rumah Sakit sama Pak De Sub. Katanya badan Bapak membiru,
dia tidak sadarkandiri” jawab Mamak resah. Bapakku memang bekerja sebagi TKI di
Malaysia. Dia tinggal di kongsi yang biasanya dekat dengan hutan. Maka wajar
jika banyak tikus dan hewan lain berkeliaran disekitar tempatnya tinggal dan
biasanya para TKI meracuni makanan mereka dengan racun tikus agar tikus-tikus
yang mengganggu itu mati. Pada hari itu katanya Pak De memang ada 5 orang
temannya juga disana yang tidak sengaja memakan makanan yang sudah diracuni
racun tikus. 2 orang meninggal, dan 3 diantaranya kritis. Termasuk Bapakku.
Saat mendengar berita itu awalnya aku tak sedih sedikit
pun. Buat apa? Rasanya sakit hatiku bertahun-tahun karena Bapak sudah terobati.
Bahkan aku sedikit senang. Dosakah aku? Bukankah yang Bapak lakukan
bertahun-tahun itu juga dosa?. Bertahun-tahun kami menderita. Rasanya tak
usahlah aku kasian. Mungkin ini balasan untuk
perlakuan Bapak selama ini kepada kami. Bukannya bagus? Siapa tahu
setelah ini Bapak sadar akan perbuatannya dulu.
“Jangan lupa do’akan Bapakmu setelah sholat, supaya
diberi kesembuhan” kata Mamakku lirih menahan sedih. “Mungkin ini balasan untuk
Bapak selama ini Mak” celetukku tanpa dosa. “Kamu ini ngomong apa? Dia Bapakmu!
Tanpa dia kamu nggak ada di dunia ini! Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Bapakmu?!
Bagaimana kalau kamu tidak punya Bapak?! Jangan begitu Nduk? Dia walau
bagaimanapun tetap Bapakmu. Kepala keluarga yang harus kita hormati dan
sayangi. Mamak tahu kamu juga terluka, tapi dia tetap Bapakmu! ” kata Mamak
dengan air mata membendung. Seketika mataku membendung. Aku tak tahan dan
menuju kamarku. Kututup pintu rapat-rapat. “Tanpa dia kamu nggak ada di dunia
ini!” kata-kata Mamak terngiang di telingaku. Oh Tuhan Durhakakah hamba?
Durhakakah hamba, jika hamba membencinya? Sudah hilangkah hati nuraniku sebagai
anak? Aku menangis di dalam kamar. Rasa bersalah mulai memenuhi relung hatiku.
Kata-kata Mamak memang benar. Tidak peduli apa yang Bapak pernah lakukan dulu,
dia tetap Bapakku. Bapak kandungku. Tanpanya aku tak ada di dunia ini. Dia
dalam keadaan amat buruk sekarang. Tapi apa yang kulakukan tadi? Bukannya berdo’a
justru sumpah serapah yang muncul. Maafkan Lili Pak. Seharusnya Lili berdo’a
yang terbaik untuk Bapak. Bukannya seperti ini. Entah mengapa aku merasa jadi
anak paling durhaka dan paling buruk di dunia ini. Hanya bisa berharap “sumpah
serapah”ku tidak terwujud.
Hari-hari berlalu. Bapak koma selama 5 hari. Hanya Pak De
Sub yang kebetulan satu kongsi dengan Bapakku yang bolak balik dari kongsinya
yang berada di dekat hutan ke Rumah Sakit yang berada di kota. Setiap hari
Mamak terlihat resah menunggu telfon dari Pak De dan segera ingin tahu
bagaimana keadaan Bapak disana. Wajah Mamak selalu terlihat murung. Akupun
hanya bisa menatap sedih Mamak. Setelah 5 hari melewati masa koma, akhirnya
Bapak sadar dari komanya. Namun menurut cerita Pak De, Bapak masih harus
menginap beberapa hari lamanya. Tak kurang dari 15 hari Bapak dirawat di rumah
sakit. Setelah diperbolehkan pulang, Bapak masih belum bisa berjalan dengan
baik karena saking lamanya Bapak berbaring di tempat tidur rumah sakit membuat
tubuhnya sedikit kaku digerakkan. Jadilah selama satu bulan Bapak tidak bekerja
dan itu digunakan memulihkan keadaannya pasca sakit.
Sejak saat itu aku mulai merubah pemikiranku tentang
Bapak. Berdamai dengan hati. Berusaha memaafkan kesalahan Bapak yang dulu. Mulai
menurut kata-kata yang pernah diucapkan Mamak. Berharap kesembuhan Bapak. Tak
mungkin selamanya aku membenci Bapak. Bagaimanapun dia Bapak kandungku. Tak
peduli apa saja yang pernah dia lakukan, sudah kewajibanku berbakti kepadanya.
Allah merencanakan segala sesuatu dengan sangat detail, Allah menakdirkan Mbak Laili menjalani jalan takdir yang "getir" seperti itu pasti bukan tanpa sebab. Ada yang hendak Allah ingin ajarkan kepada kita. Percayalah, bahwa Allah Sang Maha Penyayang tidak akan mengecewakan kita. Dia yang lebih tau apa yang terbaik untuk kita.
BalasHapus